Di sebuah kota kecil, hiduplah dua orang pemuda. Mereka adalah pemuda yang tampan, populer karena mereka menarik. Tetapi kepopuleran ini membuat perilaku mereka menjadi keliru dan seringkali tidak menghormati orang lain, padahal mereka berasal dari keluarga yang cukup terhormat.
Belakangan menjadi di kota itu seringkali terjadi pencurian domba yang menjadi matapencaharian penduduk setempat. Ini adalah kejahatan yang cukup besar pada saat itu.
Dan ternyata setelah berkali-kali pencurian terjadi, sepandai-pandainya tupai melompat. Diketahuilah bahwa pemuda-pemuda itulah pelakunya.
Karena mereka berasal dari keluarga terhormat, mereka tidak dipenjara. Namun dengan malu yang amat sangat, para orang tua kedua pemuda itu segera mengusir mereka dari rumah masing-masing. Namun tetap masyarakat berunding untuk menentukan hukuman apa yang paling cocok bagi mereka.
Akhirnya diputuskan untuk memberi tatoo di jidat mereka dengan tulisan “ST”, singkatan dari “Sheep Thief” (pencuri domba). Tatoo ini bersifat permanen, akan kelihatan di dahi mereka seumur hidup.
Salah seorang diantara pemuda itu cukup malu dengan tatoo tersebut, sehingga ia melarikan diri hingga tak terdengar kabar beritanya lagi. Yang seorang lagi, dengan penyesalan mendalam, bertekad untuk memperbaiki hubungan dengan masyarakat.
Ia memilih untuk tetap tinggal di kota dan mulai berbuat baik, terutama kepada warga yang pernah ia rugikan sebelumnya. Beberapa kali perbuatan baiknya ini malah menimbulkan kecurigaan dari masyarakat setempat, tetapi pemuda itu tetap setia berbuat baik tanpa mempedulikan apa kata warga.
Setiap kali ada yang sakit, dia datang untuk merawat si sakit, membuatkannya bubur hangat dan menghibur dengan berbagai cerita-cerita lucu.
Setiap ada kesibukan dan perayaan, dia selalu membantu dengan sukarela.
Dia tidak pernah memperhatikan apakah yang dibantunya kaya atau miskin. Kadang ia menerima tanda ucapan terima kasih, entah makanan maupun uang, tetapi lebih sering ia tidak pernah menerima apapun atas segala bantuannya, dan ia memang tidak pernah memperdulikan hal itu.
Beberapa puluh tahun kemudian, datanglah beberapa orang turis ke kota itu. Karena kota itu terkenal dengan udaranya yang sejuk dan kehidupan pedesaan yang masih alami.
Turis-turis itu singgah pada sebuah toko buah di pinggir jalan, dan melihat seorang lelaki tua, dengan tatoo “ST” di jidatnya, sedang duduk di kursi goyang. Dimana mata teduh orang tua itu tertuju pada ribuan domba di ladang samping rumahnya yang cukup megah di desa itu.
Merela memperhatikan bagaimana orang-orang yang lewat di depan rumah itu selalu menyempatkan diri untuk bercakap-cakap dengan si orang tua itu, sambil menunjukkan sikap yang sangat hormat.
Mereka juga melihat banyak sekali anak-anak yang bermain di halaman rumah yang tidak memiliki pagar itu. Sesekali anak-anak itu menghentikan permainan mereka dan memeluk mesra orang tua itu.
Karena penasaran, bertanyalah para turis itu pada pemilik toko, “Apa arti huruf ST yang tertulis di jidat orang tua itu ?”
Jawab pemilik toko buah, “Saya tidak tahu. Kejadiannya sudah lama sekali…”.
Namun, setelah terdiam sejenak untuk merenung, pemilik toko tersebut melanjutkan, “… mmm, menurut saya tulisan itu singkatan dari kata ‘Santo‘. ”
(by. Willane Ackerman)
Awalnya cerita ini berjudul “Menebus Kesalahan”, namun saya ubah menjadi jangan menyerah. Menurut saya tidak ada yang bisa menebus kesalahan kita, bahkan perbuatan baik sekalipun. Namun cerita ini mengajarkan saya untuk jangan ragu berjalan ke depan, tetap setia berbuat yang terbaik untuk Tuhan. Karena dia bisa mengubah yang merah menjadi putih seperti salju. Tuhan memberkati.
Leave a Reply